Wednesday, January 8, 2014

Obsesi Edward Tjong yang Tertunda

Tetesan keringat dan aroma rumput hijau selalu menggoda Edward Tjong untuk kembali ke lapangan bola. Nikmatnya berada di antara pemain, walau bersimbah peluh, jauh lebih tinggi ketimbang duduk di ruang berpenyejuk udara.
Itulah sebabnya salah satu bekas pilar Arseto Solo dan pemain nasional ini akhirnya memilih menanggalkan seragam karyawan Bank Indonesia dan kembali ke Kadipolo, markas besar klub Arseto. Ke mes lama milik juara Galatama 1992 itu ia kembali.
“Penghasilan sebagai karyawan bank sebenarnya besar. Tapi saya bosan dan sering masuk angin. Karena hanya duduk di belakang meja,” kata lelaki yang biasa dipanggil Edu ini.
Edu lahir dari keluarga bola. Ayahnya, Harry Tjong, adalah penjaga gawang langganan tim nasional. Adik bungsunya, Billy Tjong, pun sempat mengikuti jejak sang ayah. Salah satu adik ipar Edu juga pemain sepak bola, Adityo Darmadi. Darah bola deras mengalir di keluarga Tjong karena satu-satunya anak Edu, yang diberi nama D’stefano, saat ini juga menjadi pilar Persis Junior.Tjong tua memang telah “menyeret” Edu ke lapangan hijau. Sebagai anak tentara, Edu menghabiskan waktu bermainnya untuk berlatih. Saat masih tinggal di Makassar, setiap pagi–seusai subuh sebelum berangkat sekolah–dan sore hari dia ikut berlatih bersama sang ayah. Mula-mula dia belajar menjadi penjaga gawang seperti ayahnya. Bakatnya menangkap lengket si kulit bundar benar-benar diwarisi.
“Tapi tak lama, saat saya membela tim nasional junior, saya harus meninggalkan posisi sebagai kiper,” kata Edu. Cedera patah tangan saat masih sekolah di SMA Ragunan membuat Edu tak mungkin menjadi kiper.
Ambisi sang ayah agar “mahkota” penjaga gawang tim nasional diwariskan kepada anaknya raib. Edu yang sudah telanjur memilih sepak bola sebagai dunianya memilih menjadi pemain gelandang. Pilihannya tak salah. Begitu lulus dari SMA Ragunan, Arseto meminangnya.
Kecuali matanya yang agak sipit, nyaris sulit untuk meyakini Edu adalah seorang keturunan Tionghoa. Kulitnya yang cokelat terbakar matahari membuat dia seperti orang Solo pada umumnya. Edu bisa ditemui di mana saja. Dia mengaku tak pernah mendapat perlakuan rasial meski Kota Solo dikenal sering terjadi kerusuhan berbau SARA. Ia tak merasa terganggu ketika menikmati malam di Solo sambil nongkrong di sebuah tenda “hik”, sebuah warung wedangan khas Solo. Disiplin yang ditanamkan ayahnya saat kecil membuat gelandang Arseto ini menikmati dunia sepak bola. Saat Edu kanak-kanak, orang tuanya memberlakukan jam malam. Tak ada satu pun anggota keluarga yang boleh ke luar rumah setelah pukul 22.00 WIB. Demikian juga dengan waktu makan, sarapan pagi serta makan siang dan malam pun ditentukan. “Disiplin itu ternyata kemudian memunculkan semangat pantang menyerah, tak mau kalah dan tetap fight saat bermain,” ujarnya.
Edu serius menekuni sepak bola saat duduk di bangku SMP Negeri 74 Rawamangun. Dia bergabung dengan klub Putera Rama Jakarta Timur dan menjadi kiper utama. Ketangguhannya menjaga gawang membuat sekolah atlet SMA Rawamangun menawarinya beasiswa. Dia pun dipanggil memperkuat tim nasional junior, yang berlaga di ajang Kejuaraan Lion City di Singapura pada 1980. Malang tak bisa ditolak, cedera patah tangan diperoleh saat berlatih.Lepas dari SMA Ragunan, Edu yang sudah berganti posisi sebagai gelandang serang langsung ditempatkan sebagai pemain inti Arseto, yang kala itu dilatih Wiel Coever dari Belanda. Sekitar 18 tahun dia menjadi tulang punggung Arseto. Edu, bersama Inyong Lolombulan dan Yunus Muchtar, jadi trio maut di lapangan tengah.
Pada era itu, hampir sebagian besar pemain Arseto menjadi pilar tim nasional. Edu mengantar Arseto menjadi juara Divisi Utama Galatama dan juga Piala Liga. “Saya belum pernah pindah ke klub lain,” katanya.Sukses di Arseto, Edu dipanggil memperkuat tim nasional yang akan mengikuti Piala Kemerdekaan. Lelaki temperamental di lapangan ini terpaksa dicoret dari daftar pemain tim nasional pada 1985 karena cedera lutut. Dia terpaksa istirahat panjang hampir satu tahun untuk memulihkan kondisi. Setelah sembuh, dia kembali menempati barisan inti tim nasional. “Tapi saat tim nasional dilatih Polosin, saat pemilihan pemain untuk SEA Games 1991, saya gagal,” ujarnya.
Sakit tifus memaksa dia gigit jari saat teman-temannya berpesta setelah merebut medali emas SEA Games yang berlangsung di Manila tersebut. Malang-melintang di tim nasional, prestasi terbaik yang dia raih adalah ikut membawa tim nasional menjuarai King’s Cup 1987.
Meski temperamental, Edu bukanlah pemain yang suka bermain kasar ketika kalah adu teknik. Dia jarang mendapatkan kartu kuning, bahkan seingat ayah dari dua anak ini, dirinya belum pernah menerima kartu merah.
Edu adalah satu dari sedikit pemain Indonesia yang gantung sepatu pada usia mendekati kepala empat. Setelah Arseto dibubarkan pemiliknya, dia masih sempat membela Persis Solo yang sedang berjuang naik kelas, sebelum akhirnya memilih jalan menjadi pelatih. Berbekal lisensi D dari PSSI, ia menambah ilmu kepelatihan ke Belanda pada 1999.“Pertama kalinya menjadi pelatih adalah menangani Persikabo Bogor, menjadi asisten Sutan Harhara,” kata Edu.
Kini, meski telah memperoleh segalanya dari sepak bola, masih ada satu yang ingin ia capai. “Saya ingin punya sekolah sepak bola (SSB) sendiri,” kata Edu dengan mata menerawang.Edu tak sekadar ingin mendirikan SSB, tapi juga menyiapkan konsep. Paling tidak, kini dia tengah merampungkan sebuah buku panduan teknik menjadi penjaga gawang, meskipun dia tak berhasil mewujudkan obsesi mengikuti jejak sang ayah menjadi kiper.
Kenangan Edward Tjong Terindah di Kadipolo
Rumahnya di Jalan Mandiri III Baturan, Colomadu, Karanganyar, terbilang mewah. Uang sebanyak Rp 144 juta yang dikumpulkan bersama istrinya, Ariyani Wiji Lestari, seorang pegawai Dinas Kesehatan Kota Solo, tertanam menjadi bangunan berlantai dua. Sebuah mobil sedan mengkilap melengkapi kemewahan rumah yang baru ditempati setahun terakhir ini. “Semuanya dari bola,” kata Edward Tjong atau biasa dipanggil Edu.
Kenyamanan rumah bercat cokelat itu tak membuat Edu enggan menginap di mes Persis Solo, yang berada di belakang Stadion Sriwedari, Solo. Setiap malam menjelang pertandingan kandang, Edu memilih bersama-sama anak asuhnya melepas lelah di mes tua itu.
Sesekali dia juga bertandang ke Kadipolo, bekas mes para pemain Arseto. Di tempat ini, tak hanya kenangan bersama Yunus Muchtar, Nasrul Kotto, dan Ricky Yakobi yang terpatri. “Saya berkenalan dengan istri juga di Kadipolo,” tuturnya.
Kadipolo adalah rumah bersama bagi eks pemain Arseto. Bagi mereka, klub boleh saja bubar, tapi Kadipolo yang kian hari kian menyeramkan, apalagi pada malam hari, adalah tempat yang nyaman untuk bersenda gurau. Di lapangan yang gundul, Edu masih kerap dipanggil teman-temannya untuk bermain bersama sekadar mengenang kejayaan Arseto. Setiap kali anak-anak Arseto, yang kini menyebar ke berbagai penjuru sebagai pelatih, seperti Sudirman di Kota Baru, Nasrul Koto di Binjai, Inyong Lolombulan di Magelang, atau Benny van Brekln, bertandang ke Solo. Mereka kompak berkumpul.
Di rumah angker itu–karena dulunya adalah bekas rumah sakit–hati Edu tertambat kepada Ariyani, cewek gila bola yang tak lain adalah tetangga di Mes Kadipolo. Ariyani kerap menonton Edu, lelaki yang ketika itu masih terlihat trendi dengan kalung dan gelang rantai peraknya.
Ariyani pun kerap menyaksikan pujaan hatinya bertanding di Sriwedari. “Terus terang saya mengatakan kepada anak saya agar serius berlatih kalau ingin jadi pemain bola. Tak perlu kuliah asalkan bisa berbahasa Inggris dan mengerti komputer,” kata Edu. Dari sepak bola pula Edu membesarkan dua permata hatinya, Grisca Tjong dan D’stefano.

1 comment: