Tetesan
keringat dan aroma rumput hijau selalu menggoda Edward Tjong untuk kembali ke
lapangan bola. Nikmatnya berada di antara pemain, walau bersimbah peluh, jauh
lebih tinggi ketimbang duduk di ruang berpenyejuk udara.
Itulah sebabnya salah satu bekas pilar Arseto
Solo dan pemain nasional ini akhirnya memilih menanggalkan seragam karyawan
Bank Indonesia dan kembali ke Kadipolo, markas besar klub Arseto. Ke mes lama
milik juara Galatama 1992 itu ia kembali.
“Penghasilan
sebagai karyawan bank sebenarnya besar. Tapi saya bosan dan sering masuk angin.
Karena hanya duduk di belakang meja,” kata lelaki yang biasa dipanggil Edu ini.
Edu
lahir dari keluarga bola. Ayahnya, Harry Tjong, adalah penjaga gawang langganan
tim nasional. Adik bungsunya, Billy Tjong, pun sempat mengikuti jejak sang
ayah. Salah satu adik ipar Edu juga pemain sepak bola, Adityo Darmadi. Darah
bola deras mengalir di keluarga Tjong karena satu-satunya anak Edu, yang diberi
nama D’stefano, saat ini juga menjadi pilar Persis Junior.Tjong
tua memang telah “menyeret” Edu ke lapangan hijau. Sebagai anak tentara, Edu
menghabiskan waktu bermainnya untuk berlatih. Saat masih tinggal di Makassar,
setiap pagi–seusai subuh sebelum berangkat sekolah–dan sore hari dia ikut
berlatih bersama sang ayah. Mula-mula dia belajar menjadi penjaga gawang
seperti ayahnya. Bakatnya menangkap lengket si kulit bundar benar-benar
diwarisi.
“Tapi
tak lama, saat saya membela tim nasional junior, saya harus meninggalkan posisi
sebagai kiper,” kata Edu. Cedera patah tangan saat masih sekolah di SMA Ragunan
membuat Edu tak mungkin menjadi kiper.
Ambisi
sang ayah agar “mahkota” penjaga gawang tim nasional diwariskan kepada anaknya
raib. Edu yang sudah telanjur memilih sepak bola sebagai dunianya memilih
menjadi pemain gelandang. Pilihannya tak salah. Begitu lulus dari SMA Ragunan,
Arseto meminangnya.
Kecuali
matanya yang agak sipit, nyaris sulit untuk meyakini Edu adalah seorang
keturunan Tionghoa. Kulitnya yang cokelat terbakar matahari membuat dia seperti
orang Solo pada umumnya. Edu bisa ditemui di mana saja. Dia mengaku tak pernah
mendapat perlakuan rasial meski Kota Solo dikenal sering terjadi kerusuhan
berbau SARA. Ia tak merasa terganggu ketika menikmati malam di Solo sambil
nongkrong di sebuah tenda “hik”, sebuah warung wedangan khas Solo. Disiplin
yang ditanamkan ayahnya saat kecil membuat gelandang Arseto ini menikmati dunia
sepak bola. Saat Edu kanak-kanak, orang tuanya memberlakukan jam malam. Tak ada
satu pun anggota keluarga yang boleh ke luar rumah setelah pukul 22.00 WIB.
Demikian juga dengan waktu makan, sarapan pagi serta makan siang dan malam pun
ditentukan. “Disiplin itu ternyata kemudian memunculkan semangat pantang
menyerah, tak mau kalah dan tetap fight saat bermain,” ujarnya.
Edu
serius menekuni sepak bola saat duduk di bangku SMP Negeri 74 Rawamangun. Dia
bergabung dengan klub Putera Rama Jakarta Timur dan menjadi kiper utama.
Ketangguhannya menjaga gawang membuat sekolah atlet SMA Rawamangun menawarinya
beasiswa. Dia pun dipanggil memperkuat tim nasional junior, yang berlaga di
ajang Kejuaraan Lion City di Singapura pada 1980. Malang tak bisa ditolak,
cedera patah tangan diperoleh saat berlatih.Lepas
dari SMA Ragunan, Edu yang sudah berganti posisi sebagai gelandang serang langsung
ditempatkan sebagai pemain inti Arseto, yang kala itu dilatih Wiel Coever dari
Belanda. Sekitar 18 tahun dia menjadi tulang punggung Arseto. Edu, bersama
Inyong Lolombulan dan Yunus Muchtar, jadi trio maut di lapangan tengah.
Pada
era itu, hampir sebagian besar pemain Arseto menjadi pilar tim nasional. Edu
mengantar Arseto menjadi juara Divisi Utama Galatama dan juga Piala Liga. “Saya
belum pernah pindah ke klub lain,” katanya.Sukses
di Arseto, Edu dipanggil memperkuat tim nasional yang akan mengikuti Piala
Kemerdekaan. Lelaki temperamental di lapangan ini terpaksa dicoret dari daftar
pemain tim nasional pada 1985 karena cedera lutut. Dia terpaksa istirahat
panjang hampir satu tahun untuk memulihkan kondisi. Setelah sembuh, dia kembali
menempati barisan inti tim nasional. “Tapi saat tim nasional dilatih Polosin,
saat pemilihan pemain untuk SEA Games 1991, saya gagal,” ujarnya.
Sakit
tifus memaksa dia gigit jari saat teman-temannya berpesta setelah merebut
medali emas SEA Games yang berlangsung di Manila tersebut. Malang-melintang di
tim nasional, prestasi terbaik yang dia raih adalah ikut membawa tim nasional
menjuarai King’s Cup 1987.
Meski
temperamental, Edu bukanlah pemain yang suka bermain kasar ketika kalah adu
teknik. Dia jarang mendapatkan kartu kuning, bahkan seingat ayah dari dua anak
ini, dirinya belum pernah menerima kartu merah.
Edu
adalah satu dari sedikit pemain Indonesia yang gantung sepatu pada usia
mendekati kepala empat. Setelah Arseto dibubarkan pemiliknya, dia masih sempat
membela Persis Solo yang sedang berjuang naik kelas, sebelum akhirnya memilih
jalan menjadi pelatih. Berbekal lisensi D dari PSSI, ia menambah ilmu
kepelatihan ke Belanda pada 1999.“Pertama
kalinya menjadi pelatih adalah menangani Persikabo Bogor, menjadi asisten Sutan
Harhara,” kata Edu.
Kini,
meski telah memperoleh segalanya dari sepak bola, masih ada satu yang ingin ia
capai. “Saya ingin punya sekolah sepak bola (SSB) sendiri,” kata Edu dengan
mata menerawang.Edu
tak sekadar ingin mendirikan SSB, tapi juga menyiapkan konsep. Paling tidak,
kini dia tengah merampungkan sebuah buku panduan teknik menjadi penjaga gawang,
meskipun dia tak berhasil mewujudkan obsesi mengikuti jejak sang ayah menjadi
kiper.
Kenangan Edward Tjong Terindah
di Kadipolo
Rumahnya
di Jalan Mandiri III Baturan, Colomadu, Karanganyar, terbilang mewah. Uang
sebanyak Rp 144 juta yang dikumpulkan bersama istrinya, Ariyani Wiji Lestari,
seorang pegawai Dinas Kesehatan Kota Solo, tertanam menjadi bangunan berlantai
dua. Sebuah mobil sedan mengkilap melengkapi kemewahan rumah yang baru
ditempati setahun terakhir ini. “Semuanya dari bola,” kata Edward Tjong atau
biasa dipanggil Edu.
Kenyamanan
rumah bercat cokelat itu tak membuat Edu enggan menginap di mes Persis Solo,
yang berada di belakang Stadion Sriwedari, Solo. Setiap malam menjelang
pertandingan kandang, Edu memilih bersama-sama anak asuhnya melepas lelah di
mes tua itu.
Sesekali
dia juga bertandang ke Kadipolo, bekas mes para pemain Arseto. Di tempat ini,
tak hanya kenangan bersama Yunus Muchtar, Nasrul Kotto, dan Ricky Yakobi yang
terpatri. “Saya berkenalan dengan istri juga di Kadipolo,” tuturnya.
Kadipolo
adalah rumah bersama bagi eks pemain Arseto. Bagi mereka, klub boleh saja
bubar, tapi Kadipolo yang kian hari kian menyeramkan, apalagi pada malam hari,
adalah tempat yang nyaman untuk bersenda gurau. Di lapangan yang gundul, Edu
masih kerap dipanggil teman-temannya untuk bermain bersama sekadar mengenang
kejayaan Arseto. Setiap kali anak-anak Arseto, yang kini menyebar ke berbagai
penjuru sebagai pelatih, seperti Sudirman di Kota Baru, Nasrul Koto di Binjai,
Inyong Lolombulan di Magelang, atau Benny van Brekln, bertandang ke Solo.
Mereka kompak berkumpul.
Di
rumah angker itu–karena dulunya adalah bekas rumah sakit–hati Edu tertambat
kepada Ariyani, cewek gila bola yang tak lain adalah tetangga di Mes Kadipolo.
Ariyani kerap menonton Edu, lelaki yang ketika itu masih terlihat trendi dengan
kalung dan gelang rantai peraknya.
Ariyani
pun kerap menyaksikan pujaan hatinya bertanding di Sriwedari. “Terus terang
saya mengatakan kepada anak saya agar serius berlatih kalau ingin jadi pemain
bola. Tak perlu kuliah asalkan bisa berbahasa Inggris dan mengerti komputer,”
kata Edu. Dari sepak bola pula Edu membesarkan dua permata hatinya, Grisca
Tjong dan D’stefano.